Kasus Santri : Sarungan Kok Gengsi
seorang santri selalu saja memiliki sebuah ciri khas yang bisa mengeluarkan kesan yang berbeda dari orang-orang lainya. Ibarat sebuah tanaman hias yang tetap kentara meski tumbuh di tengah hutan sekalipun. Mereka seperti memiliki sebuah identitas tersendiri akan status yang mereka sandang. Sebuah identitas yang sekaligus menjadi mahkota harga diri mereka.
satu diantara penyebabnya adalah munculnya rasa gengsi untuk menampakkan busana yang mereka anggap tidak sesuai dengan lingkungan luar.
Yah..kata itulah yang biasa dipakai alasan untuk meng-qulibatsarung dan kopyah menjadi celana jeans atau skeater yang nampak trendy. kebanyakan santri tersebut gengsi memakai sarkop (sarung dan kopyah) ketika sudah bergaul dengan komunitas non sarkop, itu karena santri tersebut tidak pede menjadi diri sendiri, akhirnya ikut-ikutan menjadi non sarkop. Bahkan ada pula yang menutup-nutupi kegengsianya dengan dalih beradaptasi dengan linkungan.
Gengsi juga biasa terjadi ketika seorang santri diolok-olokin (digojlokin) oleh teman-temanya yang notabenenya bukan kalangan santri. Akibatnya santri tersebut jadi minder dan enggan memakai sarung. Ironis memang, seorang santri yang biasanya menter terhadap segala macam gojlokan, dalam kasus ini ia tak bisa mempertahankan pendiriannya sehingga dengan mudahnya termakan oleh gojlokanmereka.
Santri juga sering merasa gengsi ketika memakai sarkop di tempat umum seperti pasar atau supermarket. Santri ini merasa kalau dirinya dianggap norak alias kolot. Itu mungkin karena tingkah lakunya yang terkesan “unyak-unyuk” sehingga orang yang melihatnya menganggap dia kampungan. Kalau saja santri tersebut bisa bertingkah lebih sopan dan elegan, niscaya orang-orang akan menghormatinya layaknya menghormati seorang ustadz ataupun kiyai.
Kalau sudah demikian, akankah seorang santri pantas dikatakan santri jika dengan kesantrianya sendiri saja ia merasa gengsi. Dan akankah tradisi gengsi akan terus menjamur dalam kalangan santri. Semua tergantung pada diri santri itu sendiri. Sejauh manakah kadar keikhlasan dan ketakwaan mereka selama tinggal di pesantren. Sehingga mereka dengan sepenuhnya menjadi seorang santri yang fleksibel. tidak sekedar santri yang hanya berlaku di pesantren saja. Walllahu a’lam bissowab
Istahilagi









